Kamis, 25 Juni 2020

Dimas Ardiansyah (laki-laki berhoodie merah di bangku halte.)

Short Story by MatteSKZ

.

Aku Dianka, biasa dipanggil Yanka.

Saat ini pukul 17.30 sore, namun sopir yang diperintahkan oleh ayah untuk menjemputku itu sama sekali belum terlihat kedatangannya.

"Tidak biasanya Pak Handi telat jemput," ucapku sembari berusaha menghubungi orang rumah.

Namun, nihil. Tak ada satupun orang yang mengangkat panggilanku. Semuanya hanya panggilan yang tidak aktif.
Astaga, kemana semua orang? Apa mereka tengah simulasi mati?

Aku tidak berani untuk berada lebih lama di Sekolah ini lagi, karena dilihat dari segi manapun, bangunan besar dan menjulang tinggi itu terlihat sangat menyeramkan apabila tak disinggahi manusia.
Aku buru buru berlalu untuk segera mencari bus kota atau sekedar angkutan umum agar aku bisa cepat pulang.

Kebetulan— di sekitar sekolahku terdapat sebuah halte bus yang sudah cukup tua, terakhir aku berada disini ketika aku pulang bersama teman, sekitar satu tahun yag lalu. Saat aku masih berada di kelas pertama.

Aku dapat melihat seorang pemuda yang sepertinya tengah menunggu bus, sama seperti apa yang aku lakukan.
Syukurlah, aku punya teman untuk menunggu.
.
.
"Permisi," sapaku sebelum aku menduduki pantatku di bangku halte tersebut.
Ia sama sekali tak melirik ku, matanya hanya terfokus pada jalanan yang berada di hadapannya. Memperhatikan beberapa kendaraan yang berlalu lalang.

Aku mendengus. Orang ini sangat tidak sopan.
Aku memutuskan untuk tak berbicara lebih, dan menduduki pantatku di bangku halte.
Cukup lama kami terdiam, dia yang sibuk memutar lagu dari radio kecil yang ia bawa, alunan lagu tahun 80—an yang sangat aku hafal. Karena dirumah pun ayah terus memutar lagu ini. Aku sendiri sibuk bersenandung dalam hati, menikmati lagu yang diputar oleh laki-laki tersebut.

"Kau ada lima ratus?" tanya dia tiba tiba.

Aku sedikit terlonjak kaget saat dia tiba tiba berbicara.
"Eh?"

"Aku pinjam lima ratus," katanya.

Aku mengambil satu lembar uang lima ratus dari saku bajuku kemudian menyerahkannya pada laki laki itu.
"Ini uang lima ratus?" Ia sedikit tak percaya sembari menatap uang yang barusan aku berikan.

"Hm? Lalu bagaimana lagi?" Aku mengerutkan alis ku bingung. Kenapa dia seolah tak percaya? Apa dia tak pernah memegang uang sebanyak ini?

Aku menatap pakaian yang dipakai oleh laki-laki tersebut, hm, pakaian dengan warna yang mencolok, seperti jaket namun tak menggunakan resleting ataupun kancing, aku belum pernah melihat pakaian itu sebelumnya.
Sepertinya dia bukan berasal dari keluarga miskin, tapi mengapa dia terkejut melihat uang lima ratus rupiah itu?

"Terima kasih, Dianka."

"Eeeh?? Kau tau namaku?!" tanyaku tak percaya saat dia baru saja mengucapkan kata 'Dianka'

"Eum." Laki-laki itu mengangguk.

"Yah, cukup tau. Oh ini uangmu aku kembalikan," kata laki laki itu sembari menyerahkan kembali uang milikku.

"Jadi ini benar tahun 1990?" katanya pelan.

Aku mengedipkan mataku, tak paham dengan apa yang ia ucapkan.
"Hah?"

"Rupanya kau tak paham ya."

Aku menggeleng.
Aku memang sangat tak paham dengan apa yang diucap olehnya. Terlebih logatnya terdengar berbeda dari yang lain, apa dia berasal dari luar kota?

"Oh ya, perkenalkan. Namaku Dimas Ardiansyah, dari yang ayah bilang, yang memberi namaku seperti itu adalah bunda."

Aku mengangguk. Semakin tak mengerti ketika dia mengucapkan kalimat itu tiba tiba.
Entah mengapa, aku merasa kalau aku tak asing dengan laki laki ini?

"Apa kau tidak merasakannya?" tanyanya dengan mata yang menatap ke arahku, aku tidak mengerti dengan tatapannya. Yang aku baca dan aku lihat dari sorot matanya, ia seolah memberikan perasaan rindu, sifatnya menunjukkan ia tengah mengalami sebuah perasaan nyaman.

"Merasakan apa?" tanyaku balik.

"Merasakan perasaanku," ucapnya tiba tiba. Laki-laki bernama Dimas itu tersenyum tipis.

Aku sontak membuang muka ke sembarang arah, apaan laki-laki ini!

"Aku dapat merasakan darah di jantungku berdesir, biasanya tak seperti ini. Rupanya jantung ini tau siapa pemiliknya," Dimas meletakkan tangan di bagian jantungnya, ia memejamkan matanya.

Aku bergidik ngeri.
Apa orang ini sedikit tidak waras?"

"Aku merindukan Ibuku."

"Huh?"

"Ibuku meninggal setelah mendonorkan jantungnya untukku,—"

"Dia perempuan terbaik, aku selalu berharap agar aku dapat bertemu dengannya lagi. Sekedar untuk mengucap terima kasih."

Aku benar benar kebingungan setengah mati meladeni laki laki ini, kenapa bisa ia mencurahkan hatinya pada orang yang bahkan baru pertama kali melihatnya.

"Dianka, terima kasih."

Aku menyerngitkan alis ku.
"Untuk?"

"Semuanya, dan untuk uang lima ratus tadi. Aku lega saat impianku sudah terwujud, aku akan berusaha!"

Tin Tin.

Sebuah mobil dengan merek Mitsubihi Lancher GTI berhenti di depan halte. Ah rupanya itu Pak Handi sudah datang untuk menjemputku.

Aku sontak berdiri, sebelum menuju mobil aku membungkukkan tubuhku empat puluh lima derajat ke arah laki laki bernama Dimas itu.

"Aku pamit, semoga kita bisa bertemu lagi."

Dia tak membalas ucapanku, melainkan hanya menatapku yang mulai memasuki mobil dengan tatapan yang tidak aku mengerti.

Di dalam mobil, aku dapat melihat melalui kaca mobil.
Aku melihat Dimas Ardiansyah, laki laki itu masih menatap ke arah mobilku dengan tatapan yang sama.

Entah aku tak mengerti apa yang dia pikirkan tentangku.

Omong-omong, saat ia berkata darah dalam jantungnya berdesir, aku pun merasakan hal yang sama.
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

Untuk hari itu, aku bertemu pertama sekaligus terakhir kalinya dengan Dimas Ardiansyah.
Karena di hari hari berikutnya, aku tak pernah bertemu kembali dengan laki laki ber-hoodie merah maroon tersebut.

Yah, mungkin pada saat itu hanya suatu kebetulan. Tapi aku sampai saat ini belum melupakannya.
Aku tak pernah melupakan perasaan aneh yang tiba tiba terjadi saat aku bertemu dengannya, perasaan seolah aku dan dia saling terikat.

Sampai suatu ketika, aku melahirkan seorang anak laki laki dengan kecacatan di bagian jantung, entah angin apa yang menghembus ke arahku, aku yang pertama kali melihat putraku sontak memanggilnya dengan nama Dimas Ardiansyah.

Selasa, 16 Juni 2020

I am in love, but I am in love without you.

Pairing : SasuSaku and NaruSaku

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Author : Matte


"Cinta itu menyakitkan."


"Menjadi bodoh, itulah yang selalu aku lakukan."


"Selalu mengulang kebodohannya seperti orang tidak waras,,,"


"Selalu terluka setiap saat,—"


"Namun, luka itu indah. Sama sepertimu."


"Sedalamnya cintaku padamu, tapi luka itu jauh lebih dalam."


"Aku selalu membaca buku tentang benci menjadi cinta, namun apakah cerita itu akan terjadi dalam dirimu juga?"


.

.


"Naruto,, tolong antarkan ini kepada Sasuke-kun."

Seorang gadis dengan rambut nyentrik berwarna merah muda itu menyodorkan sebuah kotak bekal pada pemuda berambut pirang di hadapannya.


Sakura— nama gadis itu, ia selalu menitipkan kotak bekal kepada Naruto untuk diberikan kepada Sasuke tiap pagi.

Sebelum berangkat sekolah, ia menyiapkan diri memasakkan Sasuke sesuatu, berharap agar Sasuke menotis cintanya.


Naruto— laki-laki di berambut pirang itu tampak menggaruk kepalanya yang tidak gatal, wajahnya menyorotkan perasaan tak mengenakkan. Pasalnya terdapat satu hal fakta yang tidak diketahui Sakura, namun apabila Sakura mengetahuinya, Naruto jamin— Sakura pasti akan sakit hati, lagi.


"Terima kasih Sakura-chan," ujar Naruto dengan cengirannya.


"Kenapa kau hanya memasak untuk Sasuke-teme, Sakura-chan? Kenapa kau juga tidak memasak untukku juga? Padahal masakkan kau itu enak loh," puji Naruto sembari membuka tas selempangnya.


Sakura memasang wajah meledek.

"Memangnya kau siapa, Naruto?" ledek Sakura dengan tawa lebarnya.


Naruto mengerucutkan bibirnya sembari menyerahkan kotak bekal yang Sakura berikan kemarin.

"Nih, kotak bekal kemarin yang kau berikan untuk Teme, Teme mengucapkan terima kasih untukmu," kata Naruto dengan cengiran khasnya.


Sakura tersenyum senang seraya mengambil kotak bekal miliknya.

"Benarkah?!"


"Iya Sakura-chan, bukankah setiap hari sudah jelas seperti itu?" Naruto tersenyum, kemudian mengelus surai rambut milik Sakura yang saat ini terlihat seperti anak kecil.


"Kalau begitu, kenapa bukan Sasuke sendiri yang mengembalikannya padaku? Kenapa malah kau yang selalu memberikannya padaku?" tanya Sakura dengan alis sedikit bertautan.


Naruto tersenyum, tapi Sakura tak mengenali arti senyum terpampang dari laki-laki berambut kuning terang tersebut.

"Sasuke hanya malu."



***


Naruto melangkahkan kakinya menuju kelas, di tangannya terdapat sebuah kotak bekal pemberian Sakura tadi.

Pikirannya berkecamuk lagi, beberapa kali ia tak fokus sehingga tidak menyadari beberapa sahutan dari teman-temannya selama ia melewati koridor sekolah.


Naruto membuka pintu kelas, ia mendapati Sasuke yang tengah berciuman dengan seorang gadis cantik yang mempunyai rambut kuning pucat dan softlens berwarna ungu terang yang sangat cantik.


"Teme—"


Sasuke membuka matanya, melirik ke arah Naruto.

Tapi detik berikutnya ia tak menghiraukan temannya tersebut, ia kembali kepada aktivitasnya bersama Shion, membuat Naruto menghela nafas malas.


Sudah sering ia melihat Sasuke berperilaku seperti ini, entahlah setiap ada kesempatan Sasuke pasti akan mengajak setiap perempuan melakukan 'itu' dengannya.


Melihat hal itu membuat Naruto hanya menggelengkan kepalanya, entah sejak kapan Sasuke sahabatnya menjadi laki-laki yang gemar mempermainkan perempuan, padahal sebelumnya, jangankan mempermainkan perempuan lain, mendekati perempuan saja Sasuke tak berani.


Selang beberapa menit, kedua insan itu menyudahi aktivitas mereka diiringi deru nafas keduanya yang mulai memberontak menghirup oksigen sedalam-dalamnya.


"Kau boleh pergi, Shion. Belikan aku jus tomat dan makanan ringan," perintah Sasuke terhadap gadis bernama Shion tadi, Shion hanya mengangguk patuh kemudian pergi meninggalkan kelas untuk menuju kantin sesaat sebelumnya mengecup pipi laki-laki bersurai raven tersebut.


Sebelum benar benar keluar, Shion menatap Naruto dengan tatapan sinis dan meremehkan, kemudian ia benar-benar pergi dari ruang kelas.


"Ada apa?" tanya Sasuke to the point.


Naruto menatap Sasuke yang saat ini tengah membereskan kancing seragamnya, ia juga tak lupa membenarkan letak rambutnya yang sedikit berantakan.


"Kau kacau lagi Teme," ucap Naruto sembari mendekat ke arah Sasuke.


"Hm, tidak dobe." Sasuke melirik sesuatu di tangan Naruto.


"Dari wanita itu lagi?" tanya Sasuke membuat Naruto mengangguk.

"Iya, tidak mau kau makan lagi?"


"Kau saja yang makan, aku menunggu Shion yang akan datang membawakanku makanan."


"Tapi Sakura-chan selalu mengirimu bekal, Teme. Apakah tak ada sedikit keinginan untuk mencobanya? Dia telah berusaha untukmu," kata Naruto berusaha membujuk Sasuke.


"Tidak," balas Sasuke singkat.


Sontak membuat Naruto menghela nafas malas.

"Ya sudahlah."



*****


"Ayo Jidaaatt, kita ke kantin!" ajak Ino sembari menarik-narik tangan Sakura yang tengah membaca buku.


Saat ini tengah masuk  jam istirahat, maka dari itu Ino ingin cepat-cepat pergi ke kantin.


"Aku malas, babi. Kau duluan saja dengan Hinata-chan," balas Sakura malas.


"Huh, baiklah. Ayo Hinata-chan, kita pergi!"

Hinata hanya mengangguk malu-malu.


Sakura tersenyum kecil kemudian melanjutkan bacaannya, perutnya terasa perih karena sedari tadi belum sempat ia isi. Ia tak mungkin menghamburkan uangnya untuk membeli sesuatu di kantin, karena apabila Sakura menghabiskan uangnya, ia tak akan bisa membelikan tomat mahal kesukaan Sasuke untuk bekal esok hari.


Ketimbang memikirkan hal yang membuat perutnya semakin lapar, Sakura memutuskan akan tidur saja.


Tapi baru beberapa menit, ia merasakan ada seseorang yang meletakkan sesuatu di mejanya, membuat ia sedikit terlonjak kaget.


Ia terbangun kemudian menatap si pelaku tersebut.


Mata emeraldnya membulat sempurna, di hadapannya terdapat seorang anak laki-laki berambut raven sempurna dan bola mata onyx tajam, itu Sasuke.


"Sa—sasuke-kkun?!"


Sasuke menatap datar ke arah Sakura, di tangannya terdapat kotak bekal yang Sakura berikan pagi tadi ke Naruto.


"Kau, berhenti memberiku bekal," kata Sasuke dengan intonasi dingin dan cepat.


Deg—


Sakura merasakan sebuah tusukan pada jantungnya.


"Aku tak pernah memakan bekal darimu, semua itu dimakan oleh Naruto,—"


"—kau pikir dengan meletakkan tomat di dalamnya akan membuatku memakan makananmu? Tidak, dan oh— Naruto tidak suka tomat, dan ia membuang tomatnya sebelum memakan bekalmu, tolong jangan salahkan dia, salahkan dirimu sendiri yang selalu memberiku bekal." Sasuke melanjutkan kalimatnya.


Sakura ingin menangis saat itu juga, bagaimana bisa Sasuke melakukan hal itu? Maksudnya, Sakura rela kelaparan demi Sasuke, tapi mengapa Sasuke membalasnya seperti itu?


'Mengapa dia tidak menghargai perasaanku,?' 


Sasuke menyeringai tipis. "Berhenti melakukan hal itu, gadis bodoh."


Sakura menatap Sasuke dengan tatapan tidak percaya.

Ini kali pertama Sakura mendengar Sasuke berucap panjang lebar, tapi kenapa harus semenyakitkan ini?


"SAKURA-CHAN!"


Raga Naruto terlihat di ambang pintu, ia mengatur nafasnya. Sepertinya ia berlari untuk menuju ke kelas Sakura.


Mata Naruto membeo, sudah ia duga inilah yang dilakukan oleh Sasuke.


"Sakura-chan?"


"Maaf Naruto, membuatmu memakan masakanku," lirih Sakura pelan. Ia berusaha tersenyum di depan Naruto.


Tapi di mata Naruto tak lebih dari melihat Sakura yang tengah menangis rapuh.


"Ya, kau harus banyak meminta maaf untuk itu," celetuk Sasuke.


Sakura mengangguk kemudian pergi meninggalkan kelas membuat Naruto mendelik kesal ke arah Sasuke.


"Kau lebih baik diam, Teme! Sakura-chan itu mencintaimu, teganya kau membuat dia menangis."


"Aku tidak peduli dobe, aku membencinya, sampai kapanpun."


****


Sakura menangis di belakang sekolah, bagian sekolah yang terlihat sangat sepi dan tenang.


Ia memeluk lututnya sembari menggumam tidak jelas.


Sakura sudah sering sakit hati melihat Sasuke selalu bersama dengan gadis lain, ia tak keberatan karena sampai saat ini yang ia tahu, Sasuke selalu memakan bekal buatannya. Ia berpikir, selama Sasuke menyukainya itu bagus. Ia punya kesempatan untuk mendapatkan hati Sasuke dan membuat si Bungsu Uchiha itu berubah, tapi nyatanya tidak sama sekali.


"Uchiha itu memang tampan," seorang laki-laki datang menghampiri Sakura, namun itu bukan Naruto. Apabila kalian bertanya Naruto sedang berada di mana, saat ini Naruto tengah mondar-mandir di dalam sekolah bertujuan untuk mencari Sakura.


Sakura tak memperdulikan laki-laki yang kini mendudukkan pantat di sampingnya.

Matanya masih diarahkan ke depan.


"Kau tau, yang indah itu biasanya menyakitkan loh."


"Aku tak tau maksudmu," kata Sakura datar.


"Maksudku, kau sering kali disakiti olehnya, tapi kau tetap bertahan dengan luka itu, memang ya, manusia itu aneh. Padahal sudah jelas terluka, tapi ketika melihat paras dari orang yang memberi luka tersebut, ia pasti akan mengatakan baik-baik saja dan membela orang yang melukainya."


"Aku tak ingin membela Sasuke lagi, aku sudah muak mendapat luka lagi. Tapi,, entahlah.. Aku masih mencintainya."


Jumat, 06 Maret 2020

DIANDRA UNTUK ANDRA bg1

Andra dan Diandra POV


Kisah kami tidak begitu klise seperti cerita di luaran sana.

Karena kisah kami Insya Allah diberkati.


Ta'aruf


"Andraa? Kamu niat nggak sih mau Ta'aruf sama aku? Ya Allah kamu jahat banget beneran, janjinya mau ta'arufin aku abis lulus SMA, sekarang aku udah S1 belum juga datengin papa aku."


Andra yang tengah berkutat dengan laptopnya melirik ke arah Diandra yang tengah mengomel-ngomel tidak jelas, padahal sebelum mereka berdua mampir di restoran ini, Diandra tetap memamerkan cengiran khasnya.


"Ngapain aku harus ta'arufin kamu?"


Diandra terdiam, matanya menatap tidak percaya ke arah Andra.

"Jadi kamu nggak ada niatan buat ta'arufin aku?! Jahat banget sih!"


"Ya emang aku nggak ada niatan buat ta'arufin kamu."


"Aku pulang nih?!"


"Dih ngambek? Salah paham nih kamu? Maksud aku, ngapain kita harus ta'arufan? Toh kita berdua udah saling kenal dari jaman SMA kan? Tunggu aja kalo aku udah ada rezeki, nanti aku sama rombongan keluarga bakalan dateng ke rumah kamu buat acara lamaran."


"Ululu, so sweet deh! Andra mau makan apa lag selain yang dipesen tadi? Ayo cepet, nanti aku pesenin!"


"Halah kamu mah, giliran gini aja kesenengan."


Diandra tersenyum lebar sembari memamerkan deretan giginya.

"Ya kan perempuan cuma mau kepastian, Ndra."


"Iya, Ra. Aku peka kok, dah sana aku mau lalapannya ditambah. Mau pesenin kan tadi?" tanya Andra dengan senyumannya.


"Siap bos!"


Diandra berjalan untuk kembali memesankan pesanan Andra.

Tanpa Diandra sadari, Andra menatap tubuh dibalut jilbab itu dengan tatapan sendu.

Dengan satu tangan kanannya yang tersisa, ia mengetikkan sebuah kalimat di laptopnya.


'Mencintai tidak harus selalu memiliki kan? Tidak nyaman rasanya ketika membandingkan tubuh ini dengan seseorang yang mendekati kata sempurna itu'


Rabu, 04 Desember 2019

I'M OK

"Zuho? Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik~"

"Zuho. Kau tadi sungguh keren. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau terluka?"

"Aku baik."


"Aku selalu baik baik saja."



"Zuho. Pokoknya nanti kamu harus ambil Hukum."

Zuho yang tadinya hendak memasukkan sendok ke dalam mulutnya sontak menghentikan aktivitasnya.

"Loh? Kok gitu sih, Yah? Aku kan anak IPA? Masa ambil hukum? Nggak nyambung banget?"

"Ya gapapa kali? Tinggal ikut ujian seleksi ulang aja gitu? Gapapa kok nggak masuk lewat jalur SNMPTN juga. Yang penting kamu masuk hukum."

"Bukannya yang dulu kekeuh nyuruh aku masuk IPA itu Ayah?"

"Itu kan dulu Nak. Ayah dulunya mau kamu jadi dokter. Tapi kayaknya.. Muka kaya kamu lebih cocok jadi pengacara gitu nggak sih?"

Zuho menarik nafas— antara malas dan tercekat.

Pelan tapi pasti, ia mengangguk karena apabila berdebat dengan ayahnya hanya dapat membuang waktu, nanti di opsi terakhir ia hanya akan menerima kekalahan.


Satu hal yang tidak ia suka pada Ayahnya.

Ayahnya terlalu menuntut dirinya untuk bisa. Ayahnya selalu mengutamakan apa yang diinginkannya, bukan apa yang diinginkan oleh Zuho.


Zuho sadar apabila ia telah dididik dengan cara yang salah.

Tapi dengan bodohnya ia tak mampu menolak semua apapun yang Ayahnya perintahkan.

Zuho terlalu baik sehingga menuruti apapun yang diperintahkan oleh Ayahnya.

Tapi, kau tau baik?

Baiknya Zuho disini dalam artian memendam semuanya

Ia lebih baik memendam segala keluh kesahnya dan menuruti kemauan Ayahnya.

Hingga tak sadar, sifat terlalu baiknya itu membuat fikirannya terganggu.

Hidupnya merasa terbebani walau tak terlihat di mata orang orang.

Kondisi jasmani pemuda itu memang terlihat sehat dan baik baik saja, tapi hati, fikiran dan perasaannya sangat kacau dan tidak tenang.

Ia terobsesi untuk bisa karena Ayahnya.

Ia terobsesi mengejar karena Ayahnya.

Semuanya karena dasar pada Ayah.


Hidup Zuho tak lebih dari sebuah alat yang harus mengangkat derajat Ayahnya.

Mungkin di luar sana, banyak orang yang tengah berada di posisi Zuho. Mereka mendapat tekanan batin karena mereka harus melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan.

"Aku baik baik saja selagi dunia masih memberikan sebuah mimpi untukku," - Zuho





Sabtu, 09 November 2019

Dua Butir Telur dan Sebuah Cerita

"Gue capek jadi manusia. Mau jadi buah buahan aja!"

"Kok buah buahan sih? Kenapa ngga hewan aja? Anjing gitu misalnya? Kan bisa sekalian gue panggil, njiing njiiing."

"Bacot! Diem!"

"Iya iya. Galak ih, kenapa sih?" tanya Gilang seraya duduk disamping Nita yang masih saja mengumpat tidak jelas sehingga membuat cebikan yang cukup mengganggu orang orang yang mendengarnya.

"Gue capek."

"Capek kenapa?"

"Gatau kenapa."

"Kok gak tau? Kan katanya lo capek, nah sekarang gue tanya. Lo capeknya kenapa?"

"Gue kan gatau! Intinya gue capek!"

Gilang menghela nafas sejenak.
Kemudian merogoh sesuatu disaku celananya.

"Nih buat lo."

Ia meraih tangan Nita kemudian meletakkan sebuah telur Ayam di lengan lawan jenisnya itu.

"Apaan sih, gaje sumpah lo Gil"

"Buat lo, pecahin."

"Unfaedah lo!" Nita membanting telur yang ia genggam itu ke tanah.
Seketika telur tersebut pecah dan mengeluarkan cairan kental di dalamnya yang sudah tidak utuh lagi.

"Gila. Lo ngasih gue telor mentah?!"

Gilang hanya mengangguk kalem, kemudian merogoh saku yang lainnya.

"Sekarang, coba yang ini." Gilang kembali menyodorkan satu telur lagi kepada Nita.
Gadis itu awalnya sungkan dan sangat enggan, namun karena Gilang yang terus saja mendesak, akhirnya Nita pun meraih sebutir telur yang di sodorkan oleh Gilang.

"Pecahin."

Nita hanya menurut saja, dengan asal ia melempar telur itu ke sembarang arah.

"Ancur ga Nit?"

"Gak lah. Ngaco lo, itu kan telor mateng."

"Nah udah ngertikan?"

"Apa sih, gaje lo."

"Manusia itu sama kaya telor, manusia dari awal pasti sama semua. Tapi jalan hidup sama prinsipnya yang beda.
Ada manusia yang hidupnya ngga mau lewatin masalah, dia ngga mau dapet resiko. Sehingga sampe kapan pun hidupnya gitu gitu aja 
Selalu rapuh, sekalinya dapet masalah yang besar, pasti ancur tuh manusia, kaya telor yang pertama.
Nah yang kedua itu tipe manusia yang berani nanggung masalah sama ambil resiko.
Dia udah pengalaman dapet dan ngejalanin semua masalahnya, mangkanya sekalinya dapet masalah dia nggak bakal hancur, sekalipun masalah itu bahkan udah ngerusak atau masuk di bagian kehidupan manusia itu, karena di dalam diri mereka udah ada yang namanya tekad dan pengalaman ngehadapin masalahnya.
Intinya sih, setiap manusia itu sama dari awal.
Yang bikin kita beda tuh jalan hidupnya.
Lo kebanyakan ngeluh sebelum jalanin masalah lo.
Nanti ujung ujungnya lo bakalan jadi kaya telor pertama.
Hancur karena sekali cobaan.
Coba deh lo jadi telor kedua, perlu berkali kali dibanting dulu baru semuanya ancur.
Itupun masih bisa kita makan.

Jangan jadi telor mentah terus. Siapa tau masalah yang sekarang lo hadapin adalah rebusan yang bisa ngerubah lo jadi telor mateng.

Jangan nyerah ya."

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut, Gilang beranjak dari tempat duduknya.
Sesaat sebelumnya meninggalkan sebuah senyuman tipis.




.