Short Story by MatteSKZ
.
Aku Dianka, biasa dipanggil Yanka.
Saat ini pukul 17.30 sore, namun sopir yang diperintahkan oleh ayah untuk menjemputku itu sama sekali belum terlihat kedatangannya.
"Tidak biasanya Pak Handi telat jemput," ucapku sembari berusaha menghubungi orang rumah.
Namun, nihil. Tak ada satupun orang yang mengangkat panggilanku. Semuanya hanya panggilan yang tidak aktif.
Astaga, kemana semua orang? Apa mereka tengah simulasi mati?
Aku tidak berani untuk berada lebih lama di Sekolah ini lagi, karena dilihat dari segi manapun, bangunan besar dan menjulang tinggi itu terlihat sangat menyeramkan apabila tak disinggahi manusia.
Aku buru buru berlalu untuk segera mencari bus kota atau sekedar angkutan umum agar aku bisa cepat pulang.
Kebetulan— di sekitar sekolahku terdapat sebuah halte bus yang sudah cukup tua, terakhir aku berada disini ketika aku pulang bersama teman, sekitar satu tahun yag lalu. Saat aku masih berada di kelas pertama.
Aku dapat melihat seorang pemuda yang sepertinya tengah menunggu bus, sama seperti apa yang aku lakukan.
Syukurlah, aku punya teman untuk menunggu.
.
.
"Permisi," sapaku sebelum aku menduduki pantatku di bangku halte tersebut.
Ia sama sekali tak melirik ku, matanya hanya terfokus pada jalanan yang berada di hadapannya. Memperhatikan beberapa kendaraan yang berlalu lalang.
Aku mendengus. Orang ini sangat tidak sopan.
Aku memutuskan untuk tak berbicara lebih, dan menduduki pantatku di bangku halte.
Cukup lama kami terdiam, dia yang sibuk memutar lagu dari radio kecil yang ia bawa, alunan lagu tahun 80—an yang sangat aku hafal. Karena dirumah pun ayah terus memutar lagu ini. Aku sendiri sibuk bersenandung dalam hati, menikmati lagu yang diputar oleh laki-laki tersebut.
"Kau ada lima ratus?" tanya dia tiba tiba.
Aku sedikit terlonjak kaget saat dia tiba tiba berbicara.
"Eh?"
"Aku pinjam lima ratus," katanya.
Aku mengambil satu lembar uang lima ratus dari saku bajuku kemudian menyerahkannya pada laki laki itu.
"Ini uang lima ratus?" Ia sedikit tak percaya sembari menatap uang yang barusan aku berikan.
"Hm? Lalu bagaimana lagi?" Aku mengerutkan alis ku bingung. Kenapa dia seolah tak percaya? Apa dia tak pernah memegang uang sebanyak ini?
Aku menatap pakaian yang dipakai oleh laki-laki tersebut, hm, pakaian dengan warna yang mencolok, seperti jaket namun tak menggunakan resleting ataupun kancing, aku belum pernah melihat pakaian itu sebelumnya.
Sepertinya dia bukan berasal dari keluarga miskin, tapi mengapa dia terkejut melihat uang lima ratus rupiah itu?
"Terima kasih, Dianka."
"Eeeh?? Kau tau namaku?!" tanyaku tak percaya saat dia baru saja mengucapkan kata 'Dianka'
"Eum." Laki-laki itu mengangguk.
"Yah, cukup tau. Oh ini uangmu aku kembalikan," kata laki laki itu sembari menyerahkan kembali uang milikku.
"Jadi ini benar tahun 1990?" katanya pelan.
Aku mengedipkan mataku, tak paham dengan apa yang ia ucapkan.
"Hah?"
"Rupanya kau tak paham ya."
Aku menggeleng.
Aku memang sangat tak paham dengan apa yang diucap olehnya. Terlebih logatnya terdengar berbeda dari yang lain, apa dia berasal dari luar kota?
"Oh ya, perkenalkan. Namaku Dimas Ardiansyah, dari yang ayah bilang, yang memberi namaku seperti itu adalah bunda."
Aku mengangguk. Semakin tak mengerti ketika dia mengucapkan kalimat itu tiba tiba.
Entah mengapa, aku merasa kalau aku tak asing dengan laki laki ini?
"Apa kau tidak merasakannya?" tanyanya dengan mata yang menatap ke arahku, aku tidak mengerti dengan tatapannya. Yang aku baca dan aku lihat dari sorot matanya, ia seolah memberikan perasaan rindu, sifatnya menunjukkan ia tengah mengalami sebuah perasaan nyaman.
"Merasakan apa?" tanyaku balik.
"Merasakan perasaanku," ucapnya tiba tiba. Laki-laki bernama Dimas itu tersenyum tipis.
Aku sontak membuang muka ke sembarang arah, apaan laki-laki ini!
"Aku dapat merasakan darah di jantungku berdesir, biasanya tak seperti ini. Rupanya jantung ini tau siapa pemiliknya," Dimas meletakkan tangan di bagian jantungnya, ia memejamkan matanya.
Aku bergidik ngeri.
Apa orang ini sedikit tidak waras?"
"Aku merindukan Ibuku."
"Huh?"
"Ibuku meninggal setelah mendonorkan jantungnya untukku,—"
"Dia perempuan terbaik, aku selalu berharap agar aku dapat bertemu dengannya lagi. Sekedar untuk mengucap terima kasih."
Aku benar benar kebingungan setengah mati meladeni laki laki ini, kenapa bisa ia mencurahkan hatinya pada orang yang bahkan baru pertama kali melihatnya.
"Dianka, terima kasih."
Aku menyerngitkan alis ku.
"Untuk?"
"Semuanya, dan untuk uang lima ratus tadi. Aku lega saat impianku sudah terwujud, aku akan berusaha!"
Tin Tin.
Sebuah mobil dengan merek Mitsubihi Lancher GTI berhenti di depan halte. Ah rupanya itu Pak Handi sudah datang untuk menjemputku.
Aku sontak berdiri, sebelum menuju mobil aku membungkukkan tubuhku empat puluh lima derajat ke arah laki laki bernama Dimas itu.
"Aku pamit, semoga kita bisa bertemu lagi."
Dia tak membalas ucapanku, melainkan hanya menatapku yang mulai memasuki mobil dengan tatapan yang tidak aku mengerti.
Di dalam mobil, aku dapat melihat melalui kaca mobil.
Aku melihat Dimas Ardiansyah, laki laki itu masih menatap ke arah mobilku dengan tatapan yang sama.
Entah aku tak mengerti apa yang dia pikirkan tentangku.
Omong-omong, saat ia berkata darah dalam jantungnya berdesir, aku pun merasakan hal yang sama.
Jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
Untuk hari itu, aku bertemu pertama sekaligus terakhir kalinya dengan Dimas Ardiansyah.
Karena di hari hari berikutnya, aku tak pernah bertemu kembali dengan laki laki ber-hoodie merah maroon tersebut.
Yah, mungkin pada saat itu hanya suatu kebetulan. Tapi aku sampai saat ini belum melupakannya.
Aku tak pernah melupakan perasaan aneh yang tiba tiba terjadi saat aku bertemu dengannya, perasaan seolah aku dan dia saling terikat.
Sampai suatu ketika, aku melahirkan seorang anak laki laki dengan kecacatan di bagian jantung, entah angin apa yang menghembus ke arahku, aku yang pertama kali melihat putraku sontak memanggilnya dengan nama Dimas Ardiansyah.