Rabu, 04 Desember 2019

I'M OK

"Zuho? Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik~"

"Zuho. Kau tadi sungguh keren. Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kau terluka?"

"Aku baik."


"Aku selalu baik baik saja."



"Zuho. Pokoknya nanti kamu harus ambil Hukum."

Zuho yang tadinya hendak memasukkan sendok ke dalam mulutnya sontak menghentikan aktivitasnya.

"Loh? Kok gitu sih, Yah? Aku kan anak IPA? Masa ambil hukum? Nggak nyambung banget?"

"Ya gapapa kali? Tinggal ikut ujian seleksi ulang aja gitu? Gapapa kok nggak masuk lewat jalur SNMPTN juga. Yang penting kamu masuk hukum."

"Bukannya yang dulu kekeuh nyuruh aku masuk IPA itu Ayah?"

"Itu kan dulu Nak. Ayah dulunya mau kamu jadi dokter. Tapi kayaknya.. Muka kaya kamu lebih cocok jadi pengacara gitu nggak sih?"

Zuho menarik nafas— antara malas dan tercekat.

Pelan tapi pasti, ia mengangguk karena apabila berdebat dengan ayahnya hanya dapat membuang waktu, nanti di opsi terakhir ia hanya akan menerima kekalahan.


Satu hal yang tidak ia suka pada Ayahnya.

Ayahnya terlalu menuntut dirinya untuk bisa. Ayahnya selalu mengutamakan apa yang diinginkannya, bukan apa yang diinginkan oleh Zuho.


Zuho sadar apabila ia telah dididik dengan cara yang salah.

Tapi dengan bodohnya ia tak mampu menolak semua apapun yang Ayahnya perintahkan.

Zuho terlalu baik sehingga menuruti apapun yang diperintahkan oleh Ayahnya.

Tapi, kau tau baik?

Baiknya Zuho disini dalam artian memendam semuanya

Ia lebih baik memendam segala keluh kesahnya dan menuruti kemauan Ayahnya.

Hingga tak sadar, sifat terlalu baiknya itu membuat fikirannya terganggu.

Hidupnya merasa terbebani walau tak terlihat di mata orang orang.

Kondisi jasmani pemuda itu memang terlihat sehat dan baik baik saja, tapi hati, fikiran dan perasaannya sangat kacau dan tidak tenang.

Ia terobsesi untuk bisa karena Ayahnya.

Ia terobsesi mengejar karena Ayahnya.

Semuanya karena dasar pada Ayah.


Hidup Zuho tak lebih dari sebuah alat yang harus mengangkat derajat Ayahnya.

Mungkin di luar sana, banyak orang yang tengah berada di posisi Zuho. Mereka mendapat tekanan batin karena mereka harus melakukan apa yang tidak seharusnya mereka lakukan.

"Aku baik baik saja selagi dunia masih memberikan sebuah mimpi untukku," - Zuho





Sabtu, 09 November 2019

Dua Butir Telur dan Sebuah Cerita

"Gue capek jadi manusia. Mau jadi buah buahan aja!"

"Kok buah buahan sih? Kenapa ngga hewan aja? Anjing gitu misalnya? Kan bisa sekalian gue panggil, njiing njiiing."

"Bacot! Diem!"

"Iya iya. Galak ih, kenapa sih?" tanya Gilang seraya duduk disamping Nita yang masih saja mengumpat tidak jelas sehingga membuat cebikan yang cukup mengganggu orang orang yang mendengarnya.

"Gue capek."

"Capek kenapa?"

"Gatau kenapa."

"Kok gak tau? Kan katanya lo capek, nah sekarang gue tanya. Lo capeknya kenapa?"

"Gue kan gatau! Intinya gue capek!"

Gilang menghela nafas sejenak.
Kemudian merogoh sesuatu disaku celananya.

"Nih buat lo."

Ia meraih tangan Nita kemudian meletakkan sebuah telur Ayam di lengan lawan jenisnya itu.

"Apaan sih, gaje sumpah lo Gil"

"Buat lo, pecahin."

"Unfaedah lo!" Nita membanting telur yang ia genggam itu ke tanah.
Seketika telur tersebut pecah dan mengeluarkan cairan kental di dalamnya yang sudah tidak utuh lagi.

"Gila. Lo ngasih gue telor mentah?!"

Gilang hanya mengangguk kalem, kemudian merogoh saku yang lainnya.

"Sekarang, coba yang ini." Gilang kembali menyodorkan satu telur lagi kepada Nita.
Gadis itu awalnya sungkan dan sangat enggan, namun karena Gilang yang terus saja mendesak, akhirnya Nita pun meraih sebutir telur yang di sodorkan oleh Gilang.

"Pecahin."

Nita hanya menurut saja, dengan asal ia melempar telur itu ke sembarang arah.

"Ancur ga Nit?"

"Gak lah. Ngaco lo, itu kan telor mateng."

"Nah udah ngertikan?"

"Apa sih, gaje lo."

"Manusia itu sama kaya telor, manusia dari awal pasti sama semua. Tapi jalan hidup sama prinsipnya yang beda.
Ada manusia yang hidupnya ngga mau lewatin masalah, dia ngga mau dapet resiko. Sehingga sampe kapan pun hidupnya gitu gitu aja 
Selalu rapuh, sekalinya dapet masalah yang besar, pasti ancur tuh manusia, kaya telor yang pertama.
Nah yang kedua itu tipe manusia yang berani nanggung masalah sama ambil resiko.
Dia udah pengalaman dapet dan ngejalanin semua masalahnya, mangkanya sekalinya dapet masalah dia nggak bakal hancur, sekalipun masalah itu bahkan udah ngerusak atau masuk di bagian kehidupan manusia itu, karena di dalam diri mereka udah ada yang namanya tekad dan pengalaman ngehadapin masalahnya.
Intinya sih, setiap manusia itu sama dari awal.
Yang bikin kita beda tuh jalan hidupnya.
Lo kebanyakan ngeluh sebelum jalanin masalah lo.
Nanti ujung ujungnya lo bakalan jadi kaya telor pertama.
Hancur karena sekali cobaan.
Coba deh lo jadi telor kedua, perlu berkali kali dibanting dulu baru semuanya ancur.
Itupun masih bisa kita makan.

Jangan jadi telor mentah terus. Siapa tau masalah yang sekarang lo hadapin adalah rebusan yang bisa ngerubah lo jadi telor mateng.

Jangan nyerah ya."

Sehabis mengucapkan kalimat tersebut, Gilang beranjak dari tempat duduknya.
Sesaat sebelumnya meninggalkan sebuah senyuman tipis.




.